Senin, 05 Januari 2009

PRIBADI DAN PERBUATAN YANG MENGACU PADA HATI


Pribadi seseorang memiliki otonomi penuh untuk melakukan perbuatan apapun. Setiap manusia memiliki kemerdekaan, memiliki hak asasi. Tetapi kemerdekaannya itu tentu ada batas wilayahnya, yaitu ketika bersinggungan dengan kemerdekaan orang lain.
Dalam satu keluarga, ada seorang ayah, seorang ibu dan5 orang anak. Maka dalam keluarga tersebut terdapat 7 pribadi yang merdeka, dengan batas wilayah masing-masing. Ilustrasi tersebut bisa saja diperluas, misalnya dengan satu RT, RW, Kelurahan, Kota, Propinsi, Negara dan Bumi.

Di dalam planet bumi ini sebenarnya terdapat sekitar 7 milyar pribadi merdeka, yang dikelompokkan dalam 200-an Negara. Masing-masing pribadi memiliki otonomi penuh, yang diberikan Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Persoalannya, ada yang menyadari dan menerapkan otonomi tersebut; ada yang menyadari tetapi tidak menerapkan otonomi tersebut (karena suatu sebab); dan ada juga yang tidak menyadari dan tentu tidak menerapkan otonomi tersebut.

Selain memiliki hak asasi, setiap manusia juga memiliki kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi. Ketiganya harus disikapi secara berimbang. Setiap manusia memiliki kemerdekaan berekspresi, tetapi setiap manusia diwajibkan mematuhi aturan yang dibuat oleh Tuhan, Pencipta Alam Semesta. Dengan demikian, ekspresinya harus dalam koridor ke-Tuhan-an. Tuhan sebagai pencipta seluruh mahluk, juga menyertakan panduan, piranti linak (software) atau manual untuk diterapkan mahlukNya, terutama manusia.

Perbuatan setiap pribadi manusia, sekecil apapun, adalah wujud dari ekspresi dari otonomi kehidupan yang diberikan Tuhan. Perbuatan itu luas cakupannya, mulai dari yang bersifat pasif seperti tidur, duduk, diam yang tidak menyinggung wilayah otonomi pribadi orang lain, sampai perbuatan yang termasuk katagori ‘besar’ dan menyentuh wilayah otonomi ribuan, jutaan atau milyaran pribadi lain. Persoalannya, apakah pribadi kita termasuk jenis pribadi yang memiliki kemampuan ekspansi dan intersepsi yang luas. Atau hanya jenis pribadi yang riaknya kecil, perbuatannya sederhana, sehingga tidak berpengaruh banyak pada stabilitas pribadi yang lain.

Dalam pergaulan sehari-hari, yang intinya merupakan interaksi antar perbuatan pribadi-pribadi, ditemukan ada pribadi yang superior ada yang imperior, ada yang aktif ada yang pasif, serta ada yang proaktif ada yang reaktif. Makin besar polulasi pribadi dalam satu habitat atau institusi, maka akumulasi jumlah dan jenis perbuatan semakin kompleks. Dengan demikian, peluang terjadinya konflik pun semakin besar.

Dalam komunitas pribadi tentu dibutuhkan apa yang dinamakan pemimpin dan aturan main kelompok yang disepakati bersama. Dalam satu Negara misalnya, dibutuhkan kepala negara dan UUD. Dalam satu perusahaan diperlukan pimpinan perusahaan dan seperangkat aturan kepegawaian. Sedangkan untuk lingkup yang lebih luas, kehidupan manusia diperlukan pemimpin manusia yang merupakan utusan Tuhan, dan aturan untuk manusia yang merupakan wahyu Tuhan.

Perbuatan adalah produk dari suatu pribadi. Perbuatan tercetus dengan motivasi atau latar belakang tertentu. Hal tersebut harus dipahami oleh pribadi yang lain, manakala timbul perbuatan yang sifatnya ‘mengganggu’ pribadi lain. Menurut Dr. Ibrahim Elfiky (2007), persepsi anda tentang perbuatan seseorang mendasari penilaian dan kritik anda. Jadi, penting untuk memisahkan perilaku dan niat seseorang ketika berhubungan dengannya. Jika tidak, anda akan terperangkap dalam generalisasi. Ingatlah ini hanya satu perbuatan, tidak adil jika kita anggap mewakili gambaran utuh dari orang tersebut.

Lebih baik, kita berusaha menyadari bahwa dari setiap perbuatan, tentu ada maksud positif di balik itu. Menurut Aristoteles, “Setiap pengetahuan dan pencarian, sebagaimana setiap tindakan dan usaha, bertujuan pada suatu kebaikan.”

Dengan demikian, jangan gampang menilai pribadi seseorang hanya berdasarkan satu atau beberapa perbuatannya, apalagi kalau hanya dari melihat penampilannya, raut mukanya, cara bicaranya, gaya bahasanya, itu sangat tidak adil. Jangan berburuk sangka, dan ketahuilah bahwa sebagian besar prasangka itu tidak benar. Jadi lihatlah pribadi orang apa adanya, dengan netral, tanpa penilaian, dan manusia tidak berhak menilai manusia lainnya. Yang lebih tepat nilailah atau evaluasilah diri sendiri. Bahkan ketika seseorang melakukan perbuatan ‘buruk’ kepada kita, janganlah menilai butuk pula pribadi orang tersebut. Itu hanya satu perbuatan, yang mungkin tidak sengaja, atau salah persepsi, atau dilakukan pada saat pribadinya dalam ‘tekanan’.(Atep Afia)

Sumber Gambar :
http://picasaweb.google.co.id/lh/view?q=masjid&psc=G&filter=1#5229255263655129442
05 Januari 2009

Tidak ada komentar: